"Keterkaitan Peran Guru Sebagai Pemimpin Pembelajaran dan Sebagai Coaching di Sekolah dengan Pembelajaran Berdiferensiasi dan Pembelajaran Sosial dan Emosiolnal" Judul ini penulis angkat dalam rangka menuangkan pengetahuan yang penulis dapatkan setelah mempelajari modul 2 di kegiatan pendidikan guru penggeran angkatan 9.
Coaching untuk Supervisi Akademik.
Untuk mengembangkan ini saya berpijak pada pertanyaan-pertanyaaan berikut :
- Bagaimana peran Anda sebagai seorang coach di sekolah dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya di paket modul 2 yaitu pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi?
- Bagaimana keterkaitan keterampilan coaching dengan pengembangan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran?
Sebelum ke pembahasan penulis perlu memberikan pemahaman tentang pembelajaran berdiferensaisi, Pembelajaran Sosial Emosional, dan coaching itu sendiri. Hal ini penulis lakukan untuk memberikan informasi tentang 3 hal tersebut.
Pembelajaran berdiferensiasi adalah teknik instruksional atau pembelajaran di mana guru menggunakan berbagai metode pengajaran untuk memenuhi kebutuhan individual setiap siswa sesuai dengan kebutuhan mereka. Kebutuhan tersebut dapat berupa pengetahuan yang ada, gaya belajar, minat, dan pemahaman terhadap mata pelajaran. (Sugianto, 2022 : Link )
Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) adalah proses belajar yang berkaitan dengan pemahaman diri, empati terhadap orang lain, serta kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif. Ini mencakup aspek-aspek seperti keterampilan sosial, regulasi emosi, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan. (Admin BBGP Sulut, 2023 : Link)
Konsep Coaching secara Umum: Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999).
Coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya (Whitmore, 2003). Coaching sebagai “…bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.” (International Coach Federation -ICF).
Bagaimana peran Anda sebagai seorang coach di sekolah dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya di paket modul 2 yaitu pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi?
Coaching dalam konteks pendidikan. Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun’ tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. Keterampilan coaching perlu dimiliki para pendidik untuk menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) murid agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Proses coaching sebagai komunikasi pembelajaran antara guru dan murid, murid diberikan ruang kebebasan untuk menemukan kekuatan dirinya dan peran pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan memberdayakan potensi yang ada agar murid tidak kehilangan arah dan menemukan kekuatan dirinya tanpa membahayakan dirinya.
Peran Saya sebagai seorang coach di sekolah :
1) Fokus pada coachee (rekan yang akan dikembangkan), yang diawali dengan paradigma berpikir bertumbuh dan keberpihakan pada murid.
2) Menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) murid agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat.
3) Sebagai seorang Guru (pendidik/pamong). Sistem Among, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, menjadi semangat yang menguatkan keterampilan komunikasi guru dan murid dengan menggunakan pendekatan coaching. Tut Wuri Handayani menjadi kekuatan dalam pendekatan proses coaching dengan memberdayakan (andayani/handayani) semua kekuatan diri pada murid.
Ada 4 (empat) cara berpikir yang dapat melatih guru (coach/pamong) dalam menciptakan semangat Tut Wuri Handayani dalam setiap perjumpaan pada setiap proses komunikasi dan pembelajaran, yaitu : 1) Coach & Coachee adalah Mitra Belajar, 2) Emansipatif, 3) Kasih dan Persaudaraan, dan 4) Ruang Perjumpaan Pribadi.
Paradigma tersebut sangat terkait dengan materi sebelumnya di paket modul 2 yaitu pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi. Ada 7 (tujuh) alasan Pembelajaran Berdiferensiasi dilakukan di kelas saya, yaitu : 1) Pembelajaran Berdiferensiasi adalah bersifat proaktif; 2) Pembelajaran Berdiferensiasi lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif; 3) Pembelajaran Berdiferensiasi berakar pada penilaian; 4) Pembelajaran Berdiferensiasi menggunakan beberapa pendekatan terhadap konten, proses, dan produk; 5) Pembelajaran berdiferensiasi berpusat pada murid; 6) Pembelajaran berdiferensiasi merupakan perpaduan dari pembelajaran seluruh kelas, kelompok dan individual; dan 7) Pembelajaran berdiferensiasi bersifat "organik" dan dinamis.
Modul 2.1 Pembelajaran untuk Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid dengan menggunakan pembelajaran berdiferensiasi sangat erat kaitannya dengan modul 2.3. Coaching untuk Supervisi Akademik. Pembelajaran berdiferensiasi dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang berpihak pada murid. Agar murid memiliki kompetensi sosial dan emosional yang baik, maka sangat perlu dibelajarkan dilatih secara kontinu tentang modul 2.2. Pembelajaran Sosial dan Emosional yang mencakup : 1) Kesadaran Diri, 2) Manajemen Diri, 3) Kesadaran Sosial, 4) Keterampilan Berelasi, dan 5) Pengambilan Keputusan yang bertanggung jawab.
Peran saya sebagai guru dan sebagai seorang coach di sekolah berharap memiliki dampak yang signifikan terutama dalam konteks pembelajaran berdiferensiasi dan pengembangan keterampilan sosial-emosional siswa. Beberapa aspek yang menggambarkan peran saya sebagai guru dan sebagai seorang coach serta keterkaitannya dengan materi pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi:
Pendukung/Fasilitator:
Sebagai seorang coach, guru dapat berfungsi sebagai pendukung/fasilitator bagi setiap siswa. Mereka dapat membimbing siswa dalam memahami kekuatan dan kelemahan mereka, serta membantu mereka mengembangkan potensi maksimal mereka. Dalam konteks pembelajaran berdiferensiasi, guru sebagai coach dapat merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar dan tingkat keterampilan individual siswa.
Pembelajaran Berdiferensiasi:
Guru sebagai coach memiliki peran penting dalam merancang dan memberikan pembelajaran berdiferensiasi. Mereka dapat menggunakan pendekatan yang mempertimbangkan perbedaan individual siswa, seperti gaya belajar, kecepatan belajar, dan minat. Dengan menjadi coach, guru dapat membimbing siswa untuk menemukan cara terbaik mereka belajar dan merancang pengalaman pembelajaran yang sesuai.
Pengembangan Keterampilan Sosial dan Emosional:
Seorang coach juga dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan emosional mereka. Ini termasuk kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, mengelola konflik, dan mengatasi stres. Guru dapat melibatkan siswa dalam kegiatan pembelajaran kolaboratif, permainan peran, atau refleksi pribadi untuk membangun kesadaran diri dan kecerdasan emosional.
Pemberian Umpan Balik yang Konstruktif:
Sebagai coach, guru dapat memberikan umpan balik yang konstruktif kepada siswa. Ini tidak hanya terkait dengan kemajuan akademis, tetapi juga melibatkan aspek-aspek sosial dan emosional. Guru dapat membimbing siswa dalam memahami dan mengelola emosi mereka, serta memberikan umpan balik tentang keterampilan sosial yang mereka tunjukkan.
Pengembangan Diri dan Pencapaian Tujuan:
Guru sebagai coach dapat membantu siswa merancang tujuan pribadi dan akademis mereka. Dengan merancang rencana tindakan bersama, guru dan siswa dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut. Proses ini juga dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan perencanaan, pengaturan diri, dan tanggung jawab.
Pembelajaran Aktif dan Refleksi:
Sebagai seorang coach, guru dapat mendorong pembelajaran aktif dan refleksi diri. Ini mencakup merangsang pertanyaan, mendorong diskusi, dan memberikan siswa kesempatan untuk merenung tentang pengalaman pembelajaran mereka. Hal ini dapat membantu siswa memahami diri mereka sendiri dan meningkatkan kemampuan mereka untuk belajar secara mandiri.
Dengan merangkul peran guru sebagai seorang coach, sekolah dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung perkembangan holistik siswa, baik dari segi akademis maupun aspek sosial-emosionalnya.
Bagaimana keterkaitan keterampilan coaching dengan pengembangan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran?
Ada 4 (empat) macam paradigma berpikir coaching, yaitu : 1) Fokus pada coachee (rekan yang akan dikembangkan, 2) Bersikap terbuka dan ingin tahu, 3) Memiliki kesadaran diri yang kuat, dan 4) Mampu melihat peluang baru dan masa depan.
International Coaching Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai kemitraan dengan klien (coachee) dalam suatu proses kreatif dan menggugah pikiran untuk menginspirasi klien (coachee) agar dapat memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif. Prinsip coaching ada 3 (tiga), yaitu 1) Kemitraan, 2) Proses Kreatif, dan 3) Memaksimalkan potensi.
Ada 3 (tiga) kompetensi inti yang penting dipahami, diterapkan, dan dilatih secara terus menerus saat melakukan percakapan coaching kepada teman sejawat di sekolah, yaitu : 1) Kehadiran Penuh/Presence, 2) Mendengarkan Aktif (menyimak), dan 3) Mengajukan Pertanyaan Berbobot. Salah satu referensi yang dapat kita gunakan untuk mengajukan pertanyaan berbobot hasil dari mendengarkan aktif yaitu RASA yang diperkenalkan oleh Julian Treasure. RASA merupakan akronim dari Receive, Appreciate, Summarize, dan Ask yang dijelaskan sebagai berikut: R (Receive/Terima), yang berarti menerima/mendengarkan semua informasi yang disampaikan coachee. Perhatikan kata kunci yang diucapkan. A (Appreciate/Apresiasi), yaitu memberikan apresiasi dengan merespon atau memberikan tanda bahwa kita mendengarkan coachee. Respon yang diberikan bisa dengan anggukan, dengan kontak mata atau melontarkan “oh…” “ya…”. Bentuk apresiasi akan muncul saat kita memberikan perhatian dan hadir sepenuhnya pada coachee tidak terganggu dengan situasi lain atau sibuk mencatat. S (Summarize/Merangkum), saat coachee selesai bercerita rangkum untuk memastikan pemahaman kita sama. Perhatikan dan gunakan kata kunci yang diucapkan coachee. Saat merangkum bisa gunakan potongan-potongan informasi yang telah didapatkan dari percakapan sebelumnya. Minta coachee untuk konfirmasi apakah rangkuman sudah sesuai.
A (Ask/Tanya). Sama dengan apa yang sudah disampaikan sebelumnya terkait kiat mengajukan pertanyaan berbobot berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan saat mengajukan pertanyaan:
1) ajukan pertanyaan berdasarkan apa yang didengar dan hasil merangkum (summarizing).
2) ajukan pertanyaan yang membuat pemahaman coachee lebih dalam tentang situasinya.
3) pertanyaan harus merupakan hasil mendengarkan yang mengandung penggalian atas kata kunci atau emosi yang sudah dikonfirmasi.
4) dalam format pertanyaan terbuka: menggunakan apa, bagaimana, seberapa, kapan, siapa atau di mana.
5) Hindari menggunakan pertanyaan tertutup: “mengapa” atau “apakah” atau “sudahkah”.
Percakapan Berbasis Coaching dengan Alur TIRTA.
TIRTA dikembangkan dari satu model umum coaching yang dikenal sangat luas dan telah banyak diaplikasikan, yaitu GROW model. GROW adalah kepanjangan dari Goal, Reality, Options dan Will. Pada tahapan 1) Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini, 2) Reality (Hal-hal yang nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee, 3) Options (Pilihan): coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi. 4) Will (Keinginan untuk maju): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.
TIRTA dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Tujuan Umum (Tahap awal dimana kedua pihak coach dan coachee menyepakati tujuan pembicaraan yang akan berlangsung. Idealnya tujuan ini datang dari coachee).
2) Identifikasi (Coach melakukan penggalian dan pemetaan situasi yang sedang dibicarakan, dan menghubungkan dengan fakta-fakta yang ada pada saat sesi).
3) Rencana Aksi (Pengembangan ide atau alternatif solusi untuk rencana yang akan dibuat).
4) TAnggung jawab (Membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk langkah selanjutnya).
Ada 7 (tujuh) prinsip supervisi akademik dengan paradigma berpikir coaching, meliputi: 1) Kemitraan: proses kolaboratif antara supervisor dan guru; 2) Konstruktif: bertujuan mengembangkan kompetensi individu; 3) Terencana; 4) Reflektif; 5) Objektif: data/informasi diambil berdasarkan sasaran yang sudah disepakati; 6) Berkesinambungan; dan 7) Komprehensif: mencakup tujuan dari proses supervisi akademik.
Kesimpulan : Jika Keterampilan coaching sudah meningkat maka pengembangan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran akan meningkat pula. Harapannya dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang berpihak pada murid, sehingga murid memperoleh keselamatan dan kebahagiaan.
Keterampilan coaching dapat sangat berkontribusi pada pengembangan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran. Keterkaitan antara keterampilan coaching dan pengembangan kompetensi kepemimpinan dalam konteks pendidikan diantaranya:
Pemahaman Individu:
Keterampilan coaching melibatkan kemampuan untuk memahami individu secara mendalam, termasuk kebutuhan, kekuatan, dan area pengembangan mereka. Seorang pemimpin pembelajaran yang menggunakan pendekatan coaching dapat lebih efektif dalam memahami guru, staf, dan siswa di sekolahnya. Ini membantu pemimpin untuk merancang program pengembangan profesional yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan individu.
Pemimpin sebagai Coach:
Pemimpin pembelajaran yang menerapkan keterampilan coaching tidak hanya memberikan arahan tetapi juga bertindak sebagai coach. Mereka dapat membimbing dan mendukung guru dan staf dalam pengembangan keterampilan mereka, membantu mereka merancang strategi pembelajaran yang inovatif, dan memberikan umpan balik konstruktif.
Fasilitasi Pembelajaran Kolaboratif:
Keterampilan coaching mendukung pemimpin pembelajaran dalam menciptakan budaya kolaboratif di sekolah. Pemimpin yang menggunakan pendekatan coaching akan mendorong kolaborasi antar guru, staf, dan siswa. Mereka membantu membangun tim yang efektif dan mendorong pertukaran ide dan praktik terbaik.
Pengembangan Kepemimpinan Berbasis Tim:
Coaching dapat membantu pemimpin mengembangkan tim kepemimpinan yang kuat di sekolah. Dengan membimbing individu dalam tim untuk mencapai tujuan bersama, seorang pemimpin coaching dapat menciptakan budaya di mana setiap anggota tim merasa didukung dan dihargai.
Pemecahan Masalah Bersama:
Keterampilan coaching melibatkan kemampuan untuk membantu orang memecahkan masalah mereka sendiri. Pemimpin pembelajaran yang menggunakan keterampilan coaching dapat memfasilitasi sesi pemecahan masalah bersama di sekolah. Hal ini menciptakan lingkungan di mana tantangan dapat diidentifikasi dan diatasi secara kolaboratif.
Pengembangan Keterampilan Kepemimpinan Pribadi:
Melalui coaching, pemimpin pembelajaran dapat mengembangkan keterampilan kepemimpinan pribadi mereka. Mereka dapat meningkatkan kemampuan komunikasi, empati, dan kepemimpinan yang bersifat inklusif.
Pendekatan Pembelajaran Berkelanjutan:
Pemimpin pembelajaran yang menggunakan keterampilan coaching mendorong pendekatan pembelajaran berkelanjutan di sekolah. Mereka membantu guru dan staf untuk terus belajar dan berkembang, menciptakan lingkungan yang responsif terhadap perubahan dan inovasi dalam pendidikan.
Dengan menggabungkan keterampilan coaching dalam gaya kepemimpinan, seorang pemimpin pembelajaran dapat menciptakan lingkungan di sekolah yang mendukung pertumbuhan dan pengembangan berkelanjutan bagi semua anggota komunitas pendidikan.